Sabtu, 09 April 2011

KRISIS METAFISIS

Menurut Auguste Comte, perkembangan akal budi manusia bergerak dalam urutan yang linier dan tidak terputus. Perkembangan itu bermula dari tahap teologis ke tahap metafisis dan berakhir di tahap positif.
Menurut Comte, teologis dan metafisis adalah pengetahuan yang merupakan lawan dari fakta-fakta positif. Jadi, teologis dan metafisis adalah kejadian yang bersifat khayal, meragukan, ilusi, dan kabur. Pengetahuan tersebut lambat tapi pasti akan tersingkir dan digantikan oleh ilmu pengetahuan positif. Ilmu pengetahuan positif ini, menurut Comte adalah satu-satunya jenis pengetahuan tertinggi dan paling unggul yang pernah dimiliki oleh manusia.
Comte menulis, “Sebagai anak kita menjadi seorang teolog, sebagai remaja kita menjadi ahli metafisika, sebagai dewasa kita menjadi ahli ilmu alam.” Pada tahap teologis, manusia berusaha menerangkan segenap kejadian dalam kaitannya dengan teka-teki alam yang dianggap bersifat misterius. Namun, manusia tidak menghayati dirinya sebagai makhluk luhur dan rasional dalam usahanya untuk memahami alam semesta.
Pada tahap metafisis, manusia mulai merombak cara berpikirnya yang mulai dianggap tidak mampu memenuhi keinginan untuk menemukan jawaban yang memuaskan tentang kejadian alam semesta. Pada tahap ini, semua kejadian tidak lagi diterangkan dalam hubungannya dengan kekuatan yang bersifat rohani dan supranatural. Manusia pada tahap ini berusaha mencari esensi dari segala sesuatu. Perbedaan cara berpikir pada tahap metafisis dengan tahap teologis adalah manusia tidak lagi bersifat fatalis dengan hanya terpaku pada dogma agama. Namun, pada tahap ini masih menggunakan pengandaian-pengandaian. Sehingga tahap ini hanyalah tahap transisi menuju tahap berikutnya.
Pada tahap positif, kejadian alam tidak lagi dijelaskan melalui pengandaian semata, tetapi melalui berdasarkan pada observasi, eksperimen, dan komparasi yang ketat dan teliti. Gejala dan kejadian alam harus dibersihkan dari teologis dan metafisisnya. Akal tidak diarahkan untuk mencari kekuatan yang substansial di balik setiap kejadian. Akal pun tidak lagi berorientasi pada pencarian sebab pertama dan tujuan akhir kehidupan. Akal mencari hukum-hukum yang mengatur timbulnya kejadian itu. Hukum-hukum tersebut kemudian dianggap pasti dan dapat dipertanggungjawabkan karena semua orng dapat membuktikannya dengan perangkat metode yang sama seperti perangkat yang dipakai untuk menemukan hukum tersebut. Lebih jauh lagi, hukum-hukum ini kemudian bersifat praktis karena dianggap mampu mengontrol dan memanipulasi kejadian-kejadian sebagai sarana untuk menggapai masa depan yang lebih baik.
Dalam mendapatkan teori ini, Comte berpedoman pada rasionalitas Descartes dan ilmu-ilmu alam. Oleh karena itu, apabila kita telusuri ilmu pengetahuan positif ini, kita akan mendapatkan beberapa asumsi, antara lain:
1. Ilmu pengetahuan harus bersifat objektif (bebas nilai dan netral)
Objektivitas pengetahuan berlangsung dari dua pihak: subjek dan objek. Pada pihak subjek, seorang ilmuwan tidak boleh membiarkan dirinya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam dirinya yang bisa mempengaruhi objek yang diobservasi. Pada pihak objek, hal-hal yang tidak dapat diukur tida ditolerir keberadaannya, misalnya estetika sebuah benda seni. Selain itu, objek harus diandaikan tidak mempunyai subjektivitas dan keunikan.
2. Ilmu pengetahuan hanya berkaitan dengan hal-hal yang berulang kali terjadi
Apabila ilmu pengetahuan diarahkan kepada hal-hal unik, pengetahuan tidak akan dapat membantu untuk meramalkan.
3. Ilmu pengetahuan menyoroti setiap fenomena atau kejadian alam dari saling ketergantungan dan antar hubungannya dengan fenomena-fenomena atau kejadian-kejadian lain.
Mereka diandaikan saling berhubungan dan membentuk sistem mekanis. Maka perhatian ilmuwan bukan diarahkan pada hakikat atau substansi dari kejadian-kejadian itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar