Sabtu, 11 Desember 2010

STRATIFIKASI SOSIAL

Tugas Ilmu Budaya Dasar
“STRATIFIKASI SOSIAL”

Disusun oleh:
Khoiriah Hadi Ningsih (33410890)
1ID04

Universitas Gunadarma



STRATIFIKASI SOSIAL
Stratifikasi sosial (Social Stratification) berasal dari kata bahasa latin “stratum” (tunggal) atau “strata” (jamak) yang berarti berlapis-lapis. Dalam Sosiologi, stratifikasi sosial dapat diartikan sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat.

Definisi sistematik antara lain dikemukakan oleh Pitirim A. Sorokin bahwa pelapisan social merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya lapisan-lapisan di dalam masyarakat, ada lapisan yang tinggi dan ada lapisan-lapisan di bawahnya. Setiap lapisan tersebut disebut strata sosial. P.J. Bouman menggunakan istilah tingkatan atau dalam bahasa belanda disebut stand, yaitu golongan manusia yang ditandai dengan suatu cara hidup dalam kesadaran akan beberapa hak istimewa tertentu dan menurut gengsi kemasyarakatan. Istilah stand juga dipakai oleh Max Weber.

Paul B Horton mengatakan bahwa 2000 tahun yang lalu Aristoteles mengemukakan bahwa penduduk dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu golongan sangat kaya, golongan sangat miskin, dan golongan yang berada di atas mereka. Menurut Karl Max, kelas sosial utama terdiri atas golongan proletariat, golongan kapitalis (borjuis), dan golongan menengah (borjuis rendah).

Setiap masyarakat mempunyai sesuatu yang dihargai, bisa berupa kepandaian, kekayaan, kekuasaan, profesi, keaslian keanggotaan masyarakat dan sebagainya. Selama manusia membeda-bedakan penghargaan terhadap sesuatu yang dimiliki tersebut, pasti akan menimbulkan lapisan-lapisan dalam masyarakat. Semakin banyak kepemilikan, kecakapan masyarakat/seseorang terhadap sesuatu yang dihargai, semakin tinggi kedudukan atau lapisannya. Sebaliknya bagi mereka yang hanya mempunyai sedikit atau bahkan tidak memiliki sama sekali, maka mereka mempunyai kedudukan dan lapisan yang rendah.

Seseorang yang mempunyai tugas sebagai pejabat/ketua atau pemimpin pasti menempati lapisan yang tinggi daripada sebagai anggota masyarakat yang tidak mempunyai tugas apa-apa. Karena penghargaan terhadap jasa atau pengabdiannya seseorang bisa pula ditempatkan pada posisi yang tinggi, misalnya pahlawan, pelopor, penemu, dan sebagainya. Dapat juga karena keahlian dan keterampilan seseorang dalam pekerjaan tertentu dia menduduki posisi tinggi jika dibandingkan dengan pekerja yang tidak mempunyai keterampilan apapun.

Stratifikasi sosial terjadi melalui proses sebagai berikut:
a. Terjadinya secara otomatis, karena faktor-faktor yang dibawa individu sejak lahir. Misalnya, kepandaian, usia, jenis kelamin, keturunan, sifat keaslian keanggotaan seseorang dalam masyarakat.

b. Terjadi dengan sengaja, untuk tujuan bersama dilakukan dalam pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi-organisasi formal, seperti : pemerintahan, partai politik, perusahaan, perkumpulan, angkatan bersenjata.

Ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial dalam masyarakat adalah sebagai berikut:

a. Kekayaan
Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak maka ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, barang siapa tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja.

b. kekuasaan
Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.

c. Kehormatan
Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur.

d. Keturunan
Ukuran keturunan juga terlepas dari ukuran kekayaan dan kekuasaan. Keturunan yang dimaksud adalah keturunan berdasarkan golongan kebangsawanan atau kehormatan. Kaum bangsawan akan menempati lapisan atas seperti gelar :
- Andi di masyarakat Bugis,
- Raden di masyarakat Jawa,
- Teuku di masyarakat Aceh, dsb.

e. Ilmu pengetahuan
Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor. Namun sering timbul akibat-akibat negatif dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih dinilai tinggi daripada ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan membeli skripsi, menyuap, ijazah palsu dan seterusnya.

Menurut Soerjono Soekanto, dilihat dari sifatnya pelapisan sosial dibedakan menjadi sistem pelapisan sosial tertutup, sistem pelapisan sosial terbuka, dan sistem pelapisan sosial campuran.

a. Stratifikasi sosial tertutup
Stratifikasi tertutup adalah stratifikasi di mana tiap-tiap anggota masyarakat tersebut tidak dapat pindah ke strata atau tingkatan sosial yang lebih tinggi atau lebih rendah.
Misalnya: sistem kasta pada umat hindu di Bali dan India yang terdiri dari brahmana, ksatria, waisya, sudra, dan peria. Kaum sudra tidak bisa posisi ke tingkat brahmana, begitu juga sebaliknya walaupun seorang pria dari kaum brahmana menikah dengan seorang wanita dari kaum sudra.

b. Stratifikasi sosial terbuka (achievement status)
Stratifikasi sosial terbuka adalah sistem stratifikasi di mana setiap anggota masyarakatnya dapat berpindah-pindah dari satu strata / tingkatan yang satu ke tingkatan yang lain.
Misalnya seperti tingkat pendidikan, kekayaan, jabatan, kekuasaan dan sebagainya. Seseorang yang tadinya miskin dan bodoh bisa merubah penampilan serta strata sosialnya menjadi lebih tinggi karena berupaya sekuat tenaga untuk mengubah diri menjadi lebih baik dengan sekolah, kuliah, kursus dan menguasai banyak keterampilan sehingga dia mendapatkan pekerjaan tingkat tinggi dengan bayaran/penghasilan yang tinggi.

c. Stratifikasi sosial campuran
Stratifikasi sosial campuran merupakan kombinasi antara stratifikasi tertutup dan terbuka.
Misalnya, seorang Bali berkasta Brahmana mempunyai kedudukan terhormat di Bali, namun apabila ia pindah ke Jakarta menjadi buruh, ia memperoleh kedudukan yang rendah. Maka, ia harus menyesuaikan diri dengan aturan kelompok masyarakat di Jakarta.

Stratifikasi sosial dapat berfungsi sebagai berikut :
a. Distribusi hak-hak istimewa yang obyektif, seperti menentukan penghasilan,tingkat kekayaan, keselamatan dan wewenang pada jabatan/pangkat/ kedudukan seseorang.
b. Sistem pertanggaan (tingkatan) pada strata yang diciptakan masyarakat yang menyangkut prestise dan penghargaan, misalnya pada seseorang yangmenerima anugerah penghargaan/ gelar/ kebangsawanan, dan sebagainya.
c. Kriteria sistem pertentangan, yaitu apakah didapat melalui kualitas pribadi,keanggotaan kelompok, kerabat tertentu, kepemilikan, wewenang atau kekuasaan.
d. Penentu lambang-lambang (simbol status) atau kedudukan, seperti tingkah\ laku, cara berpakaian dan bentuk rumah.
e. Tingkat mudah tidaknya bertukar kedudukan.
f. Alat solidaritas diantara individu-individu atau kelompok yang menduduki sistem sosial yang sama dalam masyarakat.

Kamis, 25 November 2010

alasan masyarakat sekitar gunung merapi tidak mau mengungsi


 “ALASAN MASYARAKAT MERAPI TIDAK MAU MENGUNGSI”

gunadarma-logo1.jpg


Disusun oleh:
Khoiriah Hadi Ningsih (33410890)
1ID04

Universitas Gunadarma
2010-2011



KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Pertama-tama kami panjatkan Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT atas rakhmat dan karunia-Nya lah, saya dapat menyelesaikan tugas mata kuliah ilmu budaya dasar ini.
Dalam penulisan ini saya akan membahas masalah tentang alas an masyarakat merapi yang enggan untuk mengungsi.
Saya menyadari bahwa di dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan dalam berbagai sisi karena wawasan kami selaku penyusun masih terbatas walaupun telah berusaha semaksimal mungkin dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, saran dan kritik sangat saya perlukan dalam penyusunan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat terutama bagi saya atau pembaca pada umumnya, Amien.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bekasi, November 2010

Penyusun



BAB 1
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang Masalah
Merapi adalah gunung superaktif dan memiliki karakter ”aneh” dibanding gunung berapi lain di dunia. Berkali-kali ia memuntahkan lahar yang didahului gempa bumi. Kerajaan Mataram Kuno (Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra) luluh lantah oleh amukannya sehingga Raja Mpu Sendok memindahkan pusat kerajaan ke Jawa Timur. Candi Borobudur dan Candi Prambanan pun terkubur abu dan pasir selama ratusan tahun.
Ketika kerajaan Mataram Baru (Islam) didirikan oleh Panembahan Senopati, keberadaan Merapi pun terasa penting. Kosmologi kejawen yang dibangun Panembahan Senopati mengakomodasi dunia gaib penguasa Gunung Merapi dan penguasa Laut Selatan. Mataram Baru yang berada di dataran subur antara Gunung Merapi dan Laut Selatan mendapat dukungan Ratu Kidul, penguasa laut selatan dan Syeh Jumadil Qubro, penguasa gunung Merapi.
Tanggal 26 Oktober 2010, Gunung Merapi kembali menyemburkan awan panas (wedhus gembel) yang menggulung sebagian desa di bawahnya. Kinahrejo dan Kaliadem adalah dua dusun yang hancur diterjang awan panas bercampur kerikil, pasir, dan abu yang panasnya mencapai lebih 600 derajat Celcius.
Pada makalah ini akan dibahas alasan mengapa masyarakat merapi enggan untuk mengungsi padahal pemerintah telah menetapkan status merapi dari wasapada menjadi siaga dan telah menyuh masyarakat sekitar gunung merapi untuk mengungsi.

1.2         Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui alasan masyarakat sekitar gunung merapi enggan untuk mengungsi.

1.3         Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
a.    Mengapa masyarakat merapi tidak mau mengungsi?
b.    Faktor apa saja yang mempengaruhi mereka?


BAB 2
PEMBAHASAN

Alasan masyarakat merapi yang enggan untuk mengungsi
Merapi tahun ini menunjukkan kegarangannya kembali. Gunung berapi yang konon teraktif di dunia ini terus menunjukkan peningkatan aktivitas vulkanologinya sehingga statusnya terus dinaikkan, dengan tujuan agar masyarakat di kawasan rawan bencana waspada. Tak cukup dengan hanya mengimbau, pihak berwenang pun terpaksa mengungsikan mereka, meskipun banyak di antaranya yang dilakukan dengan cara dipaksa.
Dengan cara seperti itu pun masih banyak di antaranya yang tetap bertahan, dengan berbagai alasan yang mereka sampaikan. Terlebih salah satu sesepuh yang mereka anggap sebagai juru kunci Merapi ketika itu masih mengatakan bahwa Kyaine (sebutan merapi ala Mbah Marijan) tidak apa-apa dan hanya bernapas serta dhehem-dhehem saja.
Ternyata apa yang diramalkan pihak yang berwenang kali ini benar adanya. Pada hari Selasa, tanggal 26 Oktober 2010 Merapi benar-benar meletus. Banyak korban yang luka-luka bahkan meninggal dunia. Banyak pula di antaranya yang menderita sesak napas sebagai akibat debu vulkanik, bahkan satu bayi meninggal dunia akibat debu vulkanik tersebut.
Meski sementara ini Merapi tampak beristirahat, namun penduduk baik yang berada di wilayah Jawa Tengah (Jateng) ataupun Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), merasa bingung, was-was, dan ketakutan ketika mereka memperoleh berbagai informasi serta melihat gejala peningkatan aktivitas gunung Merapi, terlebih ketika menyaksikan gunung Merapi meletus dan membawa banyak korban jiwa.
Berbagai informasi yang telah mereka peroleh sebelumnya, baik lewat media massa, dari aparat, ataupun komunikasi gethok tular yang sebelumnya sering mereka abaikan, sekarang menjadi kenyataan.
Sebelum Merapi meletus, sebenarnya berbagai penjelasan dari aparat yang berwenang pun telah mereka terima. Bahkan banyak di antara mereka yang telah menuruti saran untuk mengungsi ke tempat-tempat pengungsian yang disediakan, meski gejala terakhir menunjukkan banyak di antara mereka yang ingin kembali ke kampung halaman dengan berbagai alasan.
Kebanyakan yang masih memilih bertahan yakin bahwa mereka masih merasa aman, terlebih sesepuh mereka ketika itu mengisyaratkan aman. Mungkin, mereka baru akan mengungsi setelah memperoleh aba-aba dari sesepuh seperti Mbah Marijan, serta ada pula yang menunggu wangsit dari penunggu goib dari Merapi. Banyak pula di antaranya mungkin juga berpendapat toh ramalan ilmiah yang mereka sering dengar ketika itu juga belum terbukti, seperti tahun-tahun sebelumnya.
Melihat gejala masih banyaknya penduduk yang memilih bertahan dan yang meninggalkan pengungsian kembali ke kampung halaman dengan berbagam alasan, bila kita lihat dari sisi komunikasi tampaknya hal tersebut disebabkan oleh ketidakpastian (enthropy) kapan Merapi akan meletus. Bila dikaitkan dengan Teori Enthropy yang menyebutkan bahwa informasi akan dianggap informatif bila mampu menghilangkan ketidakpastian, tampaknya pada kasus gejala akan meletusnya Merapi hal tersebut akan sangat sulit diwujudkan.
Kenyataan telah menunjukkan kondisi alam Merapi masih berubah-rubah. Berbagai ramalan yang selama ini telah banyak terlontar baik lewat media ataupun komunikasi lainnya ketika itu juga belum terbukti.
Padahal banyak para ahli sosiologi yang menyebutkan bahwa masyarakat akan lari ke sesuatu yang berkait dengan masalah gaib/mistik, bila mereka sedang menghadapi ketidakpastian, termasuk tentang kapan Merapi akan meletus, seberapa besar letusannya, termasuk wilayah yang terkena dampaknya.
Melihat gejala ini, tak mengherankan bila masih ada penduduk yang tinggal di wilayah tertentu yang jelas sangat rawan bahaya, memilih bertahan, karena mereka merasa yakin bahwa dampak letusan tidak akan menimpa wilayah mereka. Celakanya, ketika banyak di antara mereka yang telah mau mengungsi, mungkin mereka merasa pelayanan yang diterima kurang memadai, sehingga mereka menjadi jenuh dan banyak di antaranya yang ingin kembali pulang.
Selain itu juga, alasan mereka tidak mau mengungsi dan yang sudah mengungsi ingin segera pulang karena mereka memikirkan nasib ternak (sapi, kambing, ayam, dan kerbau) jika mengungsi dan jika berlama-lama di tempat pengungsian bagi yang terlanjur mengungsi.
Bagi sebagian orang, alasan tersebut dianggap tidak masuk akal, dan bahkan dianggap konyol. Mungkin mereka berasumsi nyawa kok dikorbankan begitu saja hanya demi keselamatan terrnak. Tetapi ada sebagian lain yang bisa memahami alasan para pengungsi tersebut. Bagi kelompok ini masyarakat desa diartikan sebagai satu kesatuan komunitas dengan keunikan dan kompleksitasnya. Bagi pengkaji sosiologi terutama sosiologi pedesaan, secara fisik masyarakat desa digambarkan sebagai masyarakat yang homogen dari sisi profesi, bentuk rumah, cita-cita, tidak banyak akses ke pusat-pusat modernisasi, jauh dari kekuasaan, pola hidup sederhana, dengan sistem kekerabatan yang masih terjaga dan sebagainya. Secara sosial, masyarakat desa juga dipahami sebagai kesatuan komunitas yang anggotanya mengandalkan pertanian dan ternak sebagai sumber ekonomi.
Bagi masyarakat desa yang belum terkena polusi dan pengaruh kehidupan modern, binatang ternak berupa sapi, dan kambing  tidak saja merupakan andalan dan penopang sumber ekonomi, melainkan juga simbol prestise sosial. Sebagai orang yang berasal dari desa dan lama tinggal di desa, bahkan sangat pelosok, saya bisa merasakan apa yang dirasakan oleh para pengungsi gunung Merapi tersebut. Suatu saat ada bencana alam berupa banjir lahar dingin yang dikeluarkan oleh sebuah gunung berapi, kami seperti masyarakat sekitar gunung Merapi juga diminta mengungsi oleh aparat desa dibantu oleh petugas keamanan, baik polisi maupun tentara, yang saat itu bernama Babinsa. Kami juga enggan pindah dan berusaha sekuat tenaga untuk bertahan demi keselamatan ternak. Padahal, bahaya air bah mengancam di depan kami. Karena terus dipaksa, kami akhirnya mengungsi juga asal boleh membawa ternak piaraan yang kami miliki, berupa sapi, kambing, kerbau, dan juga ayam. Dengan membawa ternak, kami merasa nyaman tinggal di tempat pengungsian. Kisah yang kami alami puluhan tahun lalu kini terjadi pada para pengungsi korban letusan gunung Merapi.
Sebagai simbol prestise sosial, ternak memiliki makna yang dalam bagi sebagian besar masyarakat desa. Ukuran orang kaya dan berhasil bukan saja yang sawahnya luas dan rumahnya besar, tetapi juga yang punya binatang piaraan, terutama sapi.  Karena binatang ternak tidak saja bernilai ekonomi, tetapi juga sosial, maka tidak mengherankan jika masyarakat desa mempertahankan sekuat tenaga keberadaan binatang piaraan tersebut walau nyawa terancam serangan awan panas.




BAB 3
KESIMPULAN

Karena ketidakpastian, pelayanan, dan kejenuhan tampaknya menjadi masalah, maka di masa yang akan datang pihak yang berwenang hendaknya memfokuskan perhatian untuk bisa mengatasi hal tersebut. Kita yakin bahwa pihak yang berwenang tentu menginginkan minimnya jumlah korban bila sampai Merapi benar-benar meletus seperti yang terjadi belum lama ini. Penduduk lereng Merapi pun sebenarnya juga berkeinginan demikian.
Karena itu jalan bijaksana yang harus diupayakan pihak berwenang adalah menyediakan sarana serta prasarana yang memadai. Ke depan, jangan lagi terdengar masyarakat terpaksa secara swadaya memnperbaiki jalur evakuasi yang rusak misalnya.
Begitu pula dengan tempat pengungsian yang memadai, sekaligus memberikan kegiatan terhadap para pengungsi, agar mereka tidak merasa jenuh. Ini perlu dilakukan dengan serius, mengingat pengungsi Merapi akan tinggal di pengungsian dalam waktu yang lama, setidaknya sejak Merapi belum meletus, hingga setelah meletus.
Melalui kerjasama dengan media massa serta berbagai pihak secara terpadu, maka informasi yang diterima penduduk lereng merapi dapat disaring. Ini penting mengingat bila setiap informasi dibiarkan masuk sehingga banyak yang tumpang tindih bahkan saling bertentangan, akan membingungkan masyarakat sekaligus menyebabkan munculnya ketidakpastian.
Selain itu, perlu dilakukan pendekatan dengan para sesepuh yang dianggap menjadi panutan penduduk, selanjutnya kepada mereka diajak dialog dengan menggunakan bahasa serta budaya beserta keyakinan yang mereka miliki, sehingga diharapkan akan tercapai kesepahaman, terutama menyangkut keselamatan jiwa penduduk. Ini perlu dilakukan, karena sebenarnya tujuan antara pihak berwenang dengan para sesepuh itu sama yaitu keselamatan dan kesejahteraan penduduk.
Mungkin saja selama ini bahasa birokratis dan ilmiah yang banyak digunakan, sehingga sangat sulit dimengerti oleh para sesepuh, sehingga seolah mereka terkesan abai, padahal sebenarnya bukan demikian yang dikehendaki para sesepuh tersebut. Karena itu komunikasi manusiawi dengan memanfaatkan bahasa budaya, diharapkan akan mampu menghilangkan stereo types sekaligus prejudice di antara ke dua belah pihak karena tujuannya sebenarnya sama.
Kejelasan serta kelengkapan informasi yang diterima penduduk, dukungan para sesepuh, serta tersedianya sarana dan prasarana yang memadai di tempat pengungsian, tampaknya merupakan alternatif yang memadai, sehingga penduduk lereng Merapi akan terpandu menuju sebuah solusi yang aman, nyaman, sekaligus terhindar dari menjadi korban yang sia-sia.



DAFTAR REFERENSI