Sabtu, 26 Februari 2011

Konflik agama merupakan ancaman bagi NKRI

Nama : Khoiriah Hadi Ningsih
NPM : 33410890
Kelas : 1ID04


KONFLIK AGAMA MERUPAKAN ANCAMAN BAGI NKRI

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Di tahun 2010, kira-kira 85,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 9,2% Protestan, 3,5% Katolik, 1,8% Hindu, dan 0,4% Buddha.
Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa, "tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan "menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya". Pemerintah, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu.
Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan antar kelompok maupun golongan. Program transmigrasi secara tidak langsung telah menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia.
2. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui alasan dan penyebab dibalik terjadinya konflik agama di negara kita ini.

PEMBAHASAN
Benarkah telah terjadi konflik antaragama, utamanya antara Islam dan Kristen? Dr. John N. Palinggi dengan tegas menolaknya. “Konflik agama tidak pernah ada di Indonesia,” tegasnya. Yang ada hanyalah upaya kelompok tertentu dalam kelompok mayoritas untuk menarik perhatian. Karena merasa tidak diperhatikan, bahkan oleh pemerintah yang seagama dengan dia, kelompok ini lalu membuat beberapa langkah, di antaranya menganggu agama lainnya seperti menghalangi orang beribadah. “Jadi itu satu pola minta perhatian,” kata Sekjen BISMA (Badan Interaksi Sosial Masyarakat) yang merupakan wadah kerukunan umat beragama ini.
Faktor ketidakadilan ekonomilah, menurut John, yang kerap memicu tindakan yang dicap sebagai berbau agama itu. Untuk mere-dam aktivitas yang mengganggu kenyamanan publik itu, John menganjurkan beberapa langkah konkrit yang perlu dilakukan secara simultan. Di satu sisi, tokoh agama harus mampu memberikan pencerahan-pencerahan agar ada kedamaian di tengah masyarakat, di lingkungan agama maupun antarpemeluk agama. “Khotbah-nya harus indah, baik,” ujarnya.
Yang kedua, secara internal, masing-masing agama harus mengajarkan pemeluk-pemeluknya untuk ulet membangun diri, bekerja keras dan berusaha, tanpa melakukan kegiatan yang melang-gar hukum seperti korupsi. “Dengan kerja keras, tingkat kesejahteraan pun naik. Kalau sejahtera, orang tidak akan melakukan perusakan lagi,” jelasnya. Yang ketiga, dari sudut tokoh agama, supaya pintar memberikan keteladanan. Ke-empat, pemerintah harus secara cepat melihat bahwa kemiskinan itu adalah membahayakan. “Jadi program pemerintah harus betul sampai ke rakyat. Jangan sebagian besar hilang di tengah jalan karena korupsi ataupun ketakutan karena uangnya sudah dipakai pada saat pilkada,” tegasnya.
Mengikut skema Lemhanas (Lembaga Ketahanan Nasional), John mengemukakan dua pendekatan yang perlu digelar ketika terjadi perusakan tempat ibadah orang lain. Yang pertama pendekatan security dan low enforcement atau pendekatan hukum. Hal itu harus dibarengi dengan pendekatan kedua yaitu prosperity approach, pendekatan kesejahteraan. “Kalau ada rakyat yang selalu mengamuk, datanglah kepada mereka, tanyakan apa sumber-sumber makanannya. Kalau dari pertanian, berikan bibit unggul, pupuk murah, irigasi. Kalau perlu digratiskan dulu. Kita jangan hanya pandai menyalahkan masyarakat, tapi cari tahu dulu mengapa mereka melakukan hal itu dan carilah solusi dengan kreatif,” tambahnya.
Pendidikan kesadaran atas keberagaman perlu juga ditanamkan sejak dini. “Semua pihak harus menyadari bahwa setelah dia keluar rumah, dia harus sadar dan katakan kepada turunannya bahwa di luar sana itu ada perbedaan agama, beda etnik, dan nyatakan bahwa itu saudaranya. Itu harus dibuktikan dalam hidupnya. Semakin luas dengan pergaulan beda agama, semakin bahagia hidup ini,” tukasnya.
Direktur Eksekutif The Wahid Institute, Ahmad Suady menyebut perayaan-perayaan bersama sebagai mekanisme pendingin ketegangan. “Sesungguhnya kita punya banyak mekanisme sosial yang secara tradisional bisa berfungsi sebagai shockbreaker. Kalau kita lihat di desa-desa, ada upacara desa, baik yang informal seperti tradisi panen raya, maupun yang formal seperti 17 Agustusan. Itu semua merupakan kesempatan dan cara masyarakat untuk saling memahami tradisi masing-masing,” katanya.
Sayangnya, sekarang ini ada kelompok-kelompok tertentu yang mengklaim bahwa acara-acara itu merupakan milik agamanya sendiri dan pemerintah larut dalam proses itu karena interest politik.
Secara tradisional, lanjutnya, memang sudah ada perbedaan yang sangat jelas antara agama-agama di Indonesia dan itu diterima sebagai sesuatu yang wajar. Sebut misalnya adanya preferensi bahwa orang Kristen sesat karena bukan Islam, dan sebaliknya. “Akan menjadi masalah bila ada keinginan untuk benar sendiri,” katanya.
Ekskalasi konflik biasanya terjadi ketika ada yang memasukkan konflik dalam konteks Indonesia tanpa melalui proses adaptasi. Misalnya, di Afganistan sedang perang, lalu ada orang yang memindahkan konflik itu ke Indonesia. Ia membawa ketegangan di sana ke Indonesia. “Begitu juga dari daerah konflik Ambon misalnya, seolah-olah Islam dan Kristen berhadap-hadapan. Jadi bukan dia menyesuaikan diri dengan apa yang ada di sini, tapi membawa apa yang menjadi konflik itu ke sini.”
Dialog, lanjut Suady, memang perlu selalu digelar untuk menjembatani pengertian, tapi harus disertai dengan redistribusi ekonomi dan lain-lain. “Kalau tidak disertai itu, akan mentok terus. Kita tidak bisa hanya menafsirkan agama secara lebih moderat, tanpa mereformasi juga sistem politik, sistem ekonomi dan seterusnya. Agama itu salah satu bagian dari sistem itu,” katanya. Ia mencontohkan, kalau ada kekerasan, faktor polisi menjadi sangat penting dalam mengatasinya. Kalau polisi diam saja, maka kekerasan akan meningkat lagi, dan menyebar.
Kekerasan agama, katanya, perlu dipersepsikan secara negatif, seperti layaknya terorisme. Bila pemerintah berhasil menyakinkan masyarakat bahwa perusakan tempat ibadah umat lain merupakan kesalahan besar dan ditindak secara tegas, masyarakatpun akan mengutuk tindakan-tindakan itu.
Kerukunan umat beragama telah digiatkan di Indonesia sejak lama. Salah satunya adalah tokoh Mohammad Natsir (1908 – 1993), telah memberikan perhatian pada perseteruan umat beragama di Indonesia. Terutama pada proses misi-misi suatu agama yang terus melakukan merekrutan pada penganut-penganut agama lain.
Era tahun 1960. Telah terjadi berbagai peristiwa konflik antara dua agama. Di antaranya adalah peristiwa Slipi di Jakarta Barat, peristiwa Manado, peristiwa Pulau Banyak di Jakarta, peristiwa Donggo di Kabupaten Bima.
Semua peristiwa ini menyulut ketegangan antar umat beragama, khususnya Islam dan Kristen. Bahkan menjadi isu nasional.
Dalam mewujudkan kerukunan umat beragama dan menghindari terjadinya konflik di Indonesia, sejak tahun 1960-1980, pemerintah telah melaksanakan berbagai pendekatan dan lahirlah bermacam peraturan.
Semua peraturan membahas tentang pendirian rumah ibadah yang harus dimusyawarahkan antara masyarakat dan pemerintah setempat, penyiaran agama, bantuan keagamaan dari luar negeri, dan tenaga asing bidang keagamaan.
Berikut ini kebijakan pemerintah yang pernah diterbitkan untuk menjaga kerukunan dan kestabilan nasional.
• Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang Aturan Pendirian Rumah Ibadah dan Penyiaran Agama di Indonesia. Keputusan Bersama Nomor 1/1969.
• Keputusan Menteri Agama Nomor 70/1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama.
• Keputusan Menteri Agama Nomor 77/1978 tentang Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan.
• Keputusan Menteri Agama Bersama Menteri Dalam Negeri Nomor 1/1979 tentang Tata Cara Penyiaran dan Bantuan Keagamaan dari Luar Negeri.
• Keputusan Menteri Agama Nomor 49/1980 tentang Aktivitas Tenaga Asing yang Bergerak dalam Bidang Keagamaan.
Masalah kerukunan dan konflik kehidupan beragama di Indonesia dikenal oleh dunia sebagai tatanan sebuah masyarakat multikultural.
Hidup penuh kerukunan dan saling menghormati. Semua agama di Indonesia berkembang dalam cara penetrasi damai atau penetration pacifique. Ketegangan muncul saat perjumpaan antar agama. Tapi tidak pernah menjadi konflik terbuka yang melahirkan aksi kekerasan.
Berbagai hipotesa muncul untuk mempelajari letupan-letupan konflik dari bentuan peradaban dalam kehidupan beragama. Sebagai berikut:
Pertama. Kerukunan hidup beragama termasuk realitas sejarah dalam hidup manusia. Kejadian konflik agama adalah “kecelakaan” dari tak terkendalinya proses reformasi di Indonesia.
Kedua. Konflik antar umat beragama sebagai buah dari kepentingan politisasi agama. Di belakang konflik itu terjadi proses yang mendasar, seperti perkembangan internasional yang berdampak pada radikalisasi gerakan-gerakan Islam.
Ketiga. Konflik antar umat beragama itu dilatar belakangi dari benturan kepentingan politik, ekonomi, sosial. Maka agama dimunculkan untuk menjalin solidaritas antar kelompok yang bertikai.
Keempat. Sifat dasar masyarakat Indonesia adalah ramah tamah, rukun, gotong royong, dan saling menghormati satu sama lain. Tetapi kepentingan suatu kelompok sering membawa masyarakat pada situasi yang tidak diharapkan.
Kelima. Munculnya konflik adalah konsekuensi dari pandangan fundamental dalam suatu agama.
Untuk menciptakan kerukunan umat beragama dalam masyarakat multikultural di Indonesia memerlukan pemahaman penyeluruh tentang pengertian kebebasan beragama. Dan saat ini diperlukan sebuah kebijakan pemerintah, berupa Undang-Undang Kebebasan Beragama di Indonesia. UU Kebebasan beragama tersebut harus mengakomodir keinginan berbagai pihak dan agama.
Sumber:
id.wikipedia.org
www.anneahira.com
www.reformata.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar